Perempuan bekerja, berdaya dan feminisme. Manakah tujuan kita?. Membahas perempuan perlu hati-hati. Terlebih lagi belakangan ini sering digaungkan istilah kesetaraan gender. Konsep kesetaraan gender memiliki banyak pemahaman dari berbagai perspektif. Hal ini dipengaruhi oleh preferensi yang dipakai oleh setiap individu dalam memaknainya, baik berasal dari preferensi ideologi maupun agama.
Hari Perempuan Internasional
Dilihat dari fitrahnya perempuan dan laki-laki diciptakan berbeda oleh Tuhan, maka keduanya tidak dapat disamaratakan. Dalam pekerjaan, perempuan memiliki keterbatasan yang didasarkan pada kapasitasnya. Disisi lain, tepat pada hari perempuan internasional (8 Maret 2024) tema yang diangkat “Berinvestasi pada Perempuan : Mempercepat Kemajuan”. Inti tema mencanangkan agar perempuan ikut terlibat dalam kemajuan ekonomi. Beberapa orang menanggapi tema ini positif sebagai wujud kesetaraan gender. Tetapi, sebagian lain menanggapi negatif sebagai jurang kehancuran negara. Sebelum tema ini diimplementasikan dalam kebijakan, ada baiknya untuk mengkaji terlebih dahulu.
Bila tema ini diimplementasikan dalam kebijakan dan mengharuskan semua perempuan terlibat dalam perekonomian, maka dapat dimaknai bahwa perempuan dijadikan alat penghasil uang dan jika dipaksa dapat merusak fitrah perempuan. Perempuan lebih banyak menggunakan perasaan, sehingga lebih sensitif. Bila perempuan ditekan untuk menghasilkan uang, maka perempuan akan lebih mudah stress, cape dan kesehatan mentalnya terganggu. Selain itu, tekanan juga dapat menyebabkan hilangnya jati diri sebagai fitrahnya menjadi seorang ibu.
Ibu sebagai Madrasah Pertama
Dalam lingkungan terkecil di keluarga, ibu menjadi madrasah pertama bagi anaknya. Lantas, jika perempuan dijadikan alat sebagai penghasil uang, siapa yang akan menjadi madrasah pertama bagi anaknya? pada akhirnya anak tidak memiliki didikan dari keluarga atau bahkan dari ibunya. Akibatnya anak menjadi tidak peduli terhadap sekitar dan berperilaku amoral. Tidak heran jika akhir-akhir ini sering kita temui kasus kenakalan remaja, yang dipicu oleh anak kalangan tokoh pejabat maupun tokoh publik. Ini bisa saja terjadi karena anak merasa kurang perhatian, sehingga anak merasa puas dan benar atas tindakannya. Jika kejadian ini hanya terjadi di sebagian kecil keluarga, ini akan dianggap sebagai hal lumrah. Tetapi lain halnya, jika tema ini diimplementasikan dalam kebijakan, maka akan ada banyak perempuan yang bekerja tanpa menghiraukan fitrah sebagai ibu dan akan ada banyak anak yang tidak bermoral. Inilah jurang kehancurannya, dimana anak-anak sebagai generasi muda dan estafet kepemimpinan penerus bangsa tidak memiliki moral, yang justru menyebabkan kerusakan dalam negeri.
Perempuan Bekerja, Berdaya dan Feminisme
Untuk menghindari itu semua, apakah perempuan tidak boleh bekerja dan hanya mendidik anak?. Kita kembalikan pada syariat islam, kerja bagi perempuan bisa dihukumi dengan ahkamul khomsah berdasarkan alasan mengapa perempuan bekerja. Lalu, apakah perempuan tidak bekerja dianggap tidak berdaya? Bekerja bermakna kegiatan teratur dan ketat karena adanya target capaian materi, sedangkan berdaya bermakna memiliki kekuatan yang bisa dioptimalkan dan dikembangkan tanpa terikat aturan. Maka seorang perempuan lebih pantas dikatakan sebagai perempuan berdaya, jika disesuaikan dengan fitrahnya. Terakhir, bagaimana dengan feminisme?. Feminisme sekarang terlebih lagi feminisme barat menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan dengan laki-laki, terkhususnya dibidang politik dan ekonomi. Bagi saya ini sebuah pengantar kehancuran terhadap perempuan itu sendiri untuk di masa yang akan datang. Saat ini mereka menggaungkan gerakan keadilan dan kesetaraan, mungkin dimasa depan jika kedua hal tersebut berhasil diimplementasikan, justru akan menjadi tekanan bagi generasi perempuan selanjutnya.
Kedudukan Perempuan dalam Kehidupan Sosial Politik
Maka kedudukan perempuan paling relevan ialah kembali pada syariat islam, islam menganjurkan perempuan terus berdaya, bahkan dalam keadaan tertentu boleh bekerja, dengan ketentuan tidak meninggalkan kewajiban dan tanggungjawabnya. Seperti yang dicontohkan oleh Fathimah binti Ubaidillah Azdiyah yang berhasil mendidik anaknya menjadi seorang imam mazhab fiqih, yaitu Imam Syafi’i, meskipun ia berstatus single mother. Itulah pengaruh besar seorang ibu terhadap anaknya. Negara dalam hal ini perlu memperhatikan dan mempertimbangkan setiap keputusan yang diambil dalam membuat kebijakan, terlebih lagi yang berkaitan dengan perempuan, selaku calon ibu dari generasi penerus bangsa. Baik tidaknya negara dilihat dari generasi mudanya dan baik tidaknya generasi muda dilihat dari bagaimana seorang ibu mendidiknya. Secara tidak langsung perempuan juga memiliki peran penting terhadap negara dalam melahirkan peradaban.
Oleh : Dodoh Siti Saadah Mahasiswi PPKn, Universitas Pendidikan Indonesia